ruangklenik.com – Pelita Air membuat sejarah sebagai maskapai pertama di Indonesia yang menerbangkan pesawat menggunakan bahan bakar olahan dari minyak jelantah. Penerbangan perdana ini menghubungkan Jakarta dan Bali berkat dukungan dari PT Pertamina (Persero).
Inisiatif ini dinilai sebagai langkah strategis untuk mengurangi emisi karbon dan mendukung ketahanan energi berkelanjutan, menurut Kementerian ESDM.
Inovasi Berkelanjutan dalam Industri Penerbangan
Penerbangan Jakarta-Bali oleh Pelita Air merupakan sebuah tonggak penting dalam penerapan teknologi ramah lingkungan di sektor penerbangan. Inovasi yang digunakan adalah Sustainable Aviation Fuel (SAF), yang dikenal mampu mengurangi jejak karbon secara signifikan.
SAF yang terbuat dari minyak goreng bekas ini dapat memangkas emisi karbon hingga 84% dibandingkan dengan avtur fosil. Pertamina meyakinkan bahwa penggunaan SAF ini tetap menjaga keselamatan dan performa pesawat.
Dengan standar nasional dan internasional yang dipenuhi, bioavtur ini diharapkan bisa menjadi solusi bagi industri penerbangan menyusul regulasi lingkungan yang semakin ketat.
Partisipasi Masyarakat dalam Program Pengumpulan Minyak Jelantah
Untuk memastikan pasokan bahan baku yang stabil, Pertamina melibatkan masyarakat dalam program pengumpulan minyak jelantah. Saat ini, terdapat 35 titik pengumpulan yang strategis untuk memudahkan warga mengelola limbah rumah tangga.
Melalui program ini, masyarakat tidak hanya menjadi penyedia bahan baku tetapi juga mendapatkan insentif dalam bentuk saldo rupiah. Dadan Kusdiana menekankan pentingnya partisipasi masyarakat dalam transisi ke energi bersih dan berkelanjutan.
Program ini juga memberikan keuntungan dengan mengurangi limbah domestik dan memberikan penghasilan tambahan bagi warga.
Kolaborasi untuk Masa Depan Energi Hijau
Pengembangan SAF adalah hasil kolaborasi antara Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sudah dimulai sejak tahun 2021. Kerja sama ini berhasil menghasilkan bahan bakar dengan campuran bioavtur yang telah diuji coba pada pesawat Dirgantara Indonesia.
Dua tahun setelahnya, pengujian dilanjutkan dengan pesawat komersial, yang menunjukkan kesiapan untuk penggunaan bahan bakar hijau di armada maskapai penerbangan di Indonesia. Dadan berharap keberhasilan ini akan mendorong pengembangan bioetanol yang masih dalam tahap penguatan kerja sama antar lembaga.
Meskipun telah banyak kemajuan dalam biodiesel, tantangan tetap ada dalam pengembangan bioetanol. Dadan menggarisbawahi pentingnya keterlibatan semua pihak untuk mencapai keberhasilan yang lebih besar dalam sektor energi terbarukan.